Labviral.com - Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta.
Cucu Sri Paku Alam III dan anak GPH Soerjaningrat tersebut meninggalkan warisan besar melalui perjuangan di bidang pendidikan dan politik.
Dia simbol pendidikan nasional yang merdeka dan berkeadilan, populer dengan semboyan “Tut Wuri Handayani.”
Baca Juga: Kemenag Buka Seleksi Beasiswa Studi ke Universitas Al Azhar 2025
Merujuk Dikdasmen, Ki Hadjar menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan STOVIA Jakarta, tetapi tidak lulus karena masalah kesehatan.
Meski tak lulus, ia mampu menggabungkan pendidikan formal dengan nilai-nilai Jawa untuk memperjuangkan kesetaraan pendidikan.
Sebagai jurnalis, Ki Hadjar Dewantara menulis kritik pedas terhadap kolonial Belanda di media seperti Sediotomo dan De Express.
Tulisannya berjudul Als Ik Eens Nederlander Was membuat Ki Hadjar Dewantara diasingkan ke Pulau Bangka.
Namun, semangatnya tak pernah surut.
Pada 1912, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indische Partij bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker, partai nasionalis pertama yang memperjuangkan kemerdekaan, meski ditolak Belanda.
Setelah pengasingan, pada 1922 ia mendirikan Taman Siswa, lembaga pendidikan untuk pribumi yang menekankan nasionalisme dan kebebasan berpendapat.
“Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” menjadi trilogi filosofinya.
Filosofi tersebut menggambarkan peran pendidik sebagai teladan, penyemangat, dan pendukung.
Sebagai Menteri Pendidikan pertama RI pada 1950, Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar pendidikan nasional.
Baca Juga: Enam Tuntutan Buruh Disampaikan ke Presiden Prabowo pada May Day 2025
Ki Hadjar Dewantara wafat pada 26 April 1959, dianugerahi Doktor Honoris Causa dari UGM, dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.
Hari kelahirannya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Nama Ki Hadjar Dewantara juga diabadikan sebagai nama kapal perang, uang kertas 1998, dan Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta, untuk mengenang perjuangannya di sektor pendidikan berkeadilan dan cinta tanah air.***