LABVIRAL.COM — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama UNICEF terus memperkuat komitmen dalam melindungi anak perempuan dari praktik berbahaya Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP), termasuk yang bersifat simbolis. Melalui Diskusi Survey Capacity Assessment PUSPAGA untuk Penyusunan Pedoman Teknis Layanan PUSPAGA untuk P2GP yang digelar pada Juni 2025, Kemen PPPA dan para mitra membahas langkah awal penyusunan modul edukasi untuk memperkuat peran PUSPAGA dalam upaya pencegahan P2GP.
Kegiatan diskusi tersebut diikuti oleh sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan secara hybrid, mulai dari kementerian/lembaga, organisasi profesi, tokoh agama, hingga pengelola PUSPAGA dari berbagai daerah. Fokus utama diskusi adalah pentingnya edukasi yang kuat, sistem rujukan yang terintegrasi, serta narasi publik yang melindungi hak anak.
“P2GP adalah bentuk kekerasan terhadap anak perempuan yang tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apapun, termasuk praktik simbolis yang kerap dianggap ringan,” tegas Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II, Kemen PPPA, Eko Novi Ariyanti. Ia menekankan PUSPAGA memiliki posisi strategis sebagai layanan berbasis keluarga yang mampu memberikan edukasi langsung, deteksi dini, dan merujuk kasus ke UPTD PPA.
Baca Juga: Gus Ipul Ajak Kepala Sekolah Rakyat Jadi Penjaga Harapan Anak Bangsa
Sejumlah narasumber seperti perwakilan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan PUSPAGA Kabupaten Bogor mengungkapkan bahwa praktik P2GP, khususnya dalam bentuk simbolis, masih banyak dijumpai karena pengaruh budaya dan kurangnya pemahaman, bahkan di kalangan tenaga kesehatan.
“Sejak 2013, kurikulum kebidanan tidak lagi mengajarkan praktik P2GP. Bidan harus berani menolak karena tidak ada dasar hukum maupun manfaat kesehatannya,” ujar fasilitator P2GP dari IBI, Suci Maysaroh.
Hal serupa disampaikan oleh Telly Yuviarly dari PUSPAGA Kabupaten Bogor, yang menjelaskan bahwa pihaknya telah mengintegrasikan edukasi P2GP dalam berbagai sesi pengasuhan dan kesehatan reproduksi. Namun, tantangan masih ada. “Banyak kader belum mengetahui sunat perempuan, meskipun hanya simbolis, tetap dilarang. Dibutuhkan edukasi yang konsisten dan kontekstual,” ujarnya.
Baca Juga: BAZNAS Diganjar Penghargaan atas Kontribusi Besar dalam Pemberdayaan Umat
Dalam diskusi tersebut juga dibahas pentingnya membangun sistem rujukan yang mendukung tenaga kesehatan untuk menolak permintaan praktik P2GP. Pendekatan berbasis edukasi dianggap lebih tepat daripada pendekatan hukum yang bisa menghambat pelaporan dari masyarakat.